Monday 16 August 2010

Ramadhan dan Agustus Kembali Bersatu

Bukan kebetulan kalau proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan Bung Karno pada 17 Agustus 1945 ternyata bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan 1366. Bahkan kedua momen penting itu terjadi pada hari Jum’at. Suatu hari yang agung karena pada hari ini umat Islam berkumpul di Masjid untuk melakukan ibadah shalat secara bersama-sama. Saat ini momen penting itu kembali bersatu meski 17 Agustus nanti tidak terjadi pada 17 Ramadhan dan tidak pula pada hari Jum’at. Namun demikian, Ramadhan dan Agustus tetaplah merupakan bulan penuh makna.




Tanggal 17 Agustus merupakan hari di mana bangsa Indonesia secara tegas menyata diri sebagai bangsa yang bebas dari beragam intervensi bangsa-bangsa lain. Dengan demikian bangsa Indonesia memiliki keleluasaan, menemukan jalannya sendiri tanpa rintangan berarti demi melanjutkan cita-citanya membangun bangsa yang bermartabat. Hal ini persis dengan apa yang ingin dicapai umat Islam melalui puasa di bulan Ramadhan. Dalam bulan ini umat Islam diberi berbgai fasilitas sehingga leluasa untuk memperbaiki diri demi mencapai derajat terhormat di sisi Allah. Makanya umat Islam dalam menyambut Ramadhan mengucapkan “Marhaban Ya Ramadhan”. Kata “Marhaban” menurut Prof. Qurais Syihab berasal dari akar kata “rahb” dan “rahbat”. “Rahb” berarti “luas” atau “lapang”. Jadi “Marhaban Ya Ramadhan” merupakan ungkapan menyambut datangnya Ramadhan dengan luas atau lapang dada/dengan gembira. Sedangkan “rahbat” berarti “ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan”. Dari titik ini maka dapat dikatakan bahwa momen 17 Agustus dan Ramadhan sama-sama bermakna pembebasan. Secara kategoris 17 Agustus merupakan momen pembebasan manusia dari perbudakan manusia lain/bangsa lain. Sedangkan Ramadhan merupakan momen pembebasan manusia dari penjajahan nafsunya sendiri.



Adapun mengenai tanggal 17 Agustus yang “kebetulan” sama dengan 17 Ramadhan juga memiliki makna pembebasan yang jauh lebih luas. Sebab pada 17 Ramadhan untuk pertama kalinya Allah menurunkan Al-Qur’an ( Nuzulul-Qur’an ) untuk umat manusia melalui Muhammad SAW. Dan sungguh luar biasa karena ayat pertama dalam serangkaian ayat yang baru pertama kali diterima Muhammad itu justru perintah untuk membaca “Iqra’” ( bacalah! ). Muhammad gemetar ketika menerima wahyu ini. Ia didekap Jibril ( pembawa wahyu ) sambil terus mengulang-ulang perintahnya, “Iqra’ ya Muhammad” ( bacalah wahai Muhammad ). Setelah kepayahan akhirnya beliau bertanya kepada Jibril “ma aqra’?” ( apa yang harus aku baca? ). Pertanyaan beliau ini tidak mendapat jawaban secara pasti. Jawaban itu hanya menunjukkan bahwa beliau harus membaca apa saja asalkan “Bismi Rabbika” ( dengan menyebut nama Tuhanmu ) dalam pengertian asal berguna bagi kemaslahatan umat manusia. Bukan demi kemaslahatan diri dan bukan demi kemaslahatan Tuhan. Itulah mengapa kalimat itu menggunakan kata “Rab” dan bukan “Ilah”. “Rab” ( Tuhan dalam pengertian secara kosmologis dan teologis ) dapat dilacak keberadaan-Nya secara empirik. Misalnya melalui keberadaan alam semesta dan kehidupan manusia. Sedangkan “Ilah” ( Tuhan dalam pengertian ontologis ) merupakan Zat yang tak terbayangkan adanya kecuali Dia. Tuhan dalam pengertian yang terakhir ini tak terkait dengan urusan manusia. Justru Dia-lah tempat bergantungnya segala urusan. Fir’aun terpeleset gara-gara dia menyatakan diri sebagai “Ilah”



“Iqra’ bismi Rabbika” . Bukan “Iqra’ bismi Ilahika”. Itulah pesan universal dari sepenggal ayat pertama dari surat Al-Alaq yang mengandung makna pembebasan manusia dari kebodohan. Sebab menurut Shihab, kata “Iqra’” berasal dari akar kata yang berarti “menghimpun” dan kemudian lahir beragam makna. Misalnya : menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengidentifikasi, dan membaca ( baik teks maupun non teks ). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan produk dari aktifitas membaca atas nama Tuhan sebgai “Rab” bukan sebagai “Ilah”



Lantas apa makna bersatunya kembali Ramadhan dan Agustus kali ini, yang kehadirannya justru di tengah kondisi bangsa yang carut-marut. Silahkan hitung sendiri data mengenai carut-marut ini. Sangat banyak tulisan teman-teman kompasianer yang dapat dirujuk. Sekali lagi, apa maknanya ini? Apakah ini kebetulan karena siklusnya memang demikian?





Saya yakin bahwa tak ada satupun yang kebetulan di alam ini. Semua pasti telah ada “cetak birunya”, semua pasti termasuk dalam rencana besar Tuhan. Maka paparan di atas kiranya dapat mengantarkan kita ke kesimpulan sementara yang mestinya dapat kita jadikan pegangan bersama, khususnya bagi para pengurus negeri ini. Yakni sudah saatnya kini kita mengakhiri segala kegaduhan politik, ketimpangan hukum, ketidak adilan ekonomi, egoisme golongan, kecongkakan kekuasaan, lemah-lunglainya kepemimpinan, telanjang bulatnya sumber-sumber informasi hingga apapun bisa diakses oleh siapapun. Hentikan semua dan kembalilah pada tujuan awal berdirinya negeri ini. Yakni pembebasan bangsa dari berbagai macam bentuk intervensi bangsa-bangsa lain ( semangat 17 Agustus ) dan pembebasan manusia dari kekangan nafsu dan belenggu kebodohannya ( semangat 17 Ramadhan/Ramadhan ).



Itulah ayat-ayat Tuhan yang harus kita tangkap maknanya sebagai sebuah tonggak bagi bangkitnya kembali optimisme bangsa. Optimisme itu juga muncul apabila kita menyaksikan berbagai prestasi anak-anak Indonesia yang gemilang di dunia internasional. Bahkan optimisme itu juga tetap bisa berkobar mengingat akan munculnya seorang “Satrio Piningit” ( Ksatria sejati yang tersembunyi ) di tengah-tengah acakadutnya kehidupan bangsa. Ini bukan klenik. Sebab satrio piningit tidak harus diartikan seorang individu misterius yang kelak tiba-tiba hadir dengan aneka superioritasnya bag Superman. Namun dia adalah orang-orang yang terjaga sikapnya. Kalau dia berada di lingkaran kekuasaan, dia tidak tergoda samasekali dengan perilaku korup. Kalau dia berada di tengah rakyat jelata, dia tak sedikitpun menghiba apalagi frustasi karena tekanan hidup yang maha dahsyat, kalau dia berada di tengah para agamawan, dia tak pernah tertarik untuk menumpuk-numpuk pahala pribadi sementara umatnya lemah tak mampu ibadah. Demikian kira-kira yang dikatakan Mario Teguh dalam acara Golden Ways yang ditayangkan Metro TV Minggu malam kemarin. Lantas siapakah dia? Jangan-jangan orang itu adalah anda.

No comments:

Post a Comment

Tidak diperkenankan memberikan komentar yang bersifat mendeskriditkan pihak lain, berbau SARA dan atau hal-hal yang bisa merugikan orang lain

Tangisan Rasulullah untuk Pria Ini Mampu Guncangkan Arsy

Pusat Tiket, Tour, Umrah dan Haji Khusus Rasulullah SAW merupakan sosok manusia paling sempurna keimanannya kepada Allah SWT. Sama seperti...